yukberbagi!


‘Guide’ yourself into a history
12/07/2015, 4:12 am07
Filed under: Uncategorized

Ceritanya mau beraktivitas bersama anak lebih edukatif.
Baca Sayang (nggak) kita sama anak?
Jadi suatu siang berangkatlah beramai-ramai ke museum. Mengingat di Denpasar yang lebih atraktif ornamennya dalam arti banyak patung..ada barong de el el..dipilihlah museum di area 0 km Denpasar.

Tiket masuk saat ini (sambil diwawancara asal dari mana bla..bla..bla) dewasa 10rb, anak 5 rb.
Saat itu ada seorang bapak (tanpa seragam, badge atau name tag apapun) ikut nimbrung percakapan aku dan petugas tiket.
Begitu tahu kami orang Denpasar segera ia beranjak pergi.

Namun saat suami dan Arsa ke toilet dulu..seorang bapak lain (juga tanpa atribut petugas resmi museum) sigap menghampiri dan sigap menunjukkan area mana yang perlu dikunjungi lebih dulu.
Suami sambil menarik tangan si kecil menyatakan kami mau lihat-lihat sendiri. Namun bapak itu terus ‘menempel’ terutama saya dan Arsa.
Terjadi obrolan singkat.”Darimana bu? Jakarta ya? Lewat sini bu biar tahu sejarah Bali”
Aku mengalihkannya dengan menjawab,”Saya lihat sendiri ya pak…udah lama tidak ke sini. Terakhir saya bawa murid-murid saya”
Ternyata kalimat terakhir sungguh ampuh mujarab. Begitu kami masuk ke gedung Buleleng..ia segera menghilang dari pandangan.Haahh… ternyata oknum.

Sedih ya…
Ditambah lagi saat kami masuk ruang yang ada barong, rangda, dll…seorang guide sedang menjelaskan pada sekeluarga turis China. “This is Barong. Barong is good. This is Rangda. Rangda is bad”
Maaffff deh.. kalau penjelasan demikian..saya pun bisa menjadi guide dadakan saat itu.

Kehadiran guide ‘dadakan’ seperti ini sejujurnya mengurangi nilai jual museum. Walau tak berpikir negatif…namun kemungkinan tindak pemerasan, atau pelecehan mungkin saja terjadi. Ya..bersyukur kami tak mengalami. Hanya spion kendaraan kami tahu-tahunya ditekuk (entah ini ada hubungannya atau tidak).

Saya jadi membandingkan terakhir ke museum Ullen Sentalu di Jogja. Guide (sebutan di sana malah museum educator) berseragam dan sangat menguasai seluk beluk kisah yang terwakili oleh benda..lukisan…kain batik..foto. sehingga mereka bukan sekadar barang kuno semata.

Masih terekam memori kisah tarian putri keraton di Belanda dengan iringan gamelan melalui pemancar radio di Jogjakarta. Atau perbedaan batik Solo dan Jogja…atau segarnya minuman grats yang dibagikan ke pengunjung museum.
Sungguh pengalaman sarat edukasi yang luar biasa.

Nah balik lagi ke museum yang tak kalah barang koleksi peninggalan bersejarahnya. Sayang sekali pengelolaannya kurang optimal. Entah harus mengadu kepada siapa mengenai hal ini.

Pengalaman edukasi yang bisa saya berikan (kepada Arsa terutama) adalah mengabadikan beberapa area museum dengan cara yang tak biasa. Atau kepada si kecil adalah pengenalan patung-patung..benda-benda…barong..rangda..ya sepanjang yang saya tahu.

Sungguh pelajaran berharga bagi saya hari itu. Masih belum tertatanya pengelolaan musium atau tempat bersejarah di Bali..mendorong saya (sebagai ibu) untuk mau lebih banyak belajar tentang sejarah Bali. Browsing…baca buku dan lain-lain.
Ya…minimal kan bisa jadi ‘guide’ untuk anak-anak saya.

image

image

Photo courtesy by Arsa -anak saya



Sayang (nggak) kita sama anak?
10/07/2015, 4:12 pm07
Filed under: Uncategorized

Di saat berita dan pembicaraan plus gosip tiap hari rame soal anak-anak yang teraniaya…
Sesungguhnya..We face it everyday in our life.
Ya.. tanpa sengaja anak-anak (telah) kita ‘aniaya’ .
Tanpa kita sadari..ada beberapa sikap kita yang telah ‘menganiaya’ anak, beberapa bahkan dengan dalih kasih sayang.
Coba kita cermati…

Dengan alasan anak kita anteng atau buat mereka sibuk; kita ‘sengaja’ ‘menganiaya’ mereka dengan mendudukkan di depan televisi atau menyodorkan gadget.  Dan mengalirlah arus informasi, pengetahuan dan hiburan tak terbatas ruang dan waktu. Di satu sisi mungkin mereka menjadi anak kekinian. Tak gagap teknologi dan tahu informasi terkini. Namun saat anak sudah begitu asyik, punya masalah sosialisasi, meniru perilaku kurang baik, tertunda membuat PR, suka debat atau mengkritisi…barulah kita panik.

Ya..itu juga yang kini saya alami.
Mengasuh dan mendidik dua anak laki-laki dengan keunikan masing-masing memang membutuhkan banyak energi dan kreativitas. Si sulung abegeh autistik sejatinya suka berkegiatan. (Saat saya mulai menulis ini..ia di samping saya sedang menyelesaikan sulaman)
Si bungsu balita aktif dengan rasa ingin tahu besar, yang secara otodidak mengutak atik you tube mencari animasi atau lagu anak-anak kesukaannya. 
Keseharian saya tentu ditambah mengerjakan segala pekerjaan rumah tangga sendiri. Jadi ya..bicara tentang judul di atas..saya tak mau menunjuk siapa-siapa.
Karena saya pun sama.  *whispering* Situasi tiap hari adalah dua kakak beradik ini berebut gadget atau berebut antara tayangan tv lokal yang isinya banyakan budaya (kesukaan Arsa) dengan dvd lagu atau edukasi anak-anak pilihan adiknya. Pfiuuhhh…

Beraktivitas (edukatif) bersama anak seperti diutarakan ahli parenting atau psikolog anak,  terdengar mudah. Kenyataannya hal tersebut perlu diusahakan, dan perlu kemauan dan niat kita sebagai orang tua.
Saya paham betul…walau kita (saat sadar parenting) sering save tutorial mewarnai.. tutorial membuat origami…DIY craft and kids activities tapi..berapa banyak yang nyata bisa kita eksekusi.

Beberapa hari yang lalu saya beli kertas origami. Karena dua anak..sekali buat harus berdua. Pertama-tama origami burung. Si sulung meniru saya dengan mudahnya..si kecil mengikuti saya sambil berceloteh dan bernyanyi burung kutilang. Begitu jadi inginnya sih digantung dekat jendela biar seolah-olah burung beterbangan. Tapi… pfiuhhh… si kecil sudah meluncur ke lantai dengan sukses. Ikut “terbang” dia…dan tinggalkan jejak hijau di dahi.
Ya..itu baru resiko satu aktivitas bersama anak.

Belum dengan keriuhan..kekotoran..ke’kacau’an rumah saat beraktivitas. Tambah pekerjaan…berkurang leyeh-leyeh..pekerjaan rumah tangga tertunda..ekstra waktu..itu sudah pasti. Tambah pengeluaran tak selalu kalau kita pakai barang-barang reuse dan recycle di sekitar rumah.

Kesimpulan dari hal pertama… menyodorkan/membolehkan anak menjadi gadget freak tak pernah sebanding kualitasnya dengan aktivitas bersama orang tua. Sesederhana apapun aktivitas itu.
(Untuk ini saya terus lihat cermin)

Soal membuat anak sibuk…(dengan dalih membuat mereka pintar sejak dini) juga punya kisah yang lain. Berapa banyak dari kita yang memasukkan anak terlalu dini ke sekolah, entah dengan alasan anaknya sudah mau sekolah atau anaknya sudah pintar bisa calistung sederhana.

Saya juga terintimidasi. Si balita saya yang aktif dan ingin tahu…sangat menggoda untuk saya sekolahkan. Namun saya teringat kisah seorang teman. Saat mereka baru memiliki anak pertama, rupanya sang ibu termakan omongan orang-orang sekitar untuk menyekolahkan anak, di usia kurang dari 3 tahun. Ternyata efeknya bertahun-tahun kemudian. Anak tersebut mogok sekolah saat kelas 2 SMA dan kemudian minta untuk berhenti sekolah. Hal apapun yang diming-imingi orang tua untuk melanjutkan sekolah ditolak. Jadilah ia drop out SMA.
Saya ikut prihatin mendengarnya.

Ya..si kecil saya saat ini sudah suka untuk corat coret..sudah berceloteh dan bisa diajak ngobrol..sudah senang menyanyi. Tapi…apakah ia sudah bisa duduk diam mendengar cerita guru? Apakah ia sudah bisa menunggu giliran saat bermain atau saat antri cuci tangan? Apakah ia sudah ‘lulus’ toilet training? Apakah ia sudah mampu bersosialisasi tanpa terus menerus jadi korban bullying teman yang lebih tua usianya? Apakah sekolah tak membebaninya dengan pr atau hal-hal yang tak seharusnya dialami saat seusianya?
Yuk..kita cermati lebih jeli lagi. Alasan menyibukkan anak untuk menyekolahkan terlalu dini tak pernah berimbas baik. Apalagi bila disertai embel-embel anak tetangga yang sebaya sudah bersekolah, masa anak kita tidak. 

Akan ada masanya si kecil kita yang lucu gembira bersekolah. Dan kini…masanya si kecil seru-seruan dengan orang tua atau sibling mereka untuk eksplor hal-hal baru..bermain…belajar kemandirian…bernyanyi…bercerita…

Sejatinya..inilah saatnya si kecil belajar makan sendiri..belajar naik turun tangga..belajar mengayuh sepeda…belajar berenang…belajar merapikan mainan…belajar membantu pekerjaan rumah tangga sederhana… yang tentu tak perlu dengan mendaftar di sekolah tertentu.

Nah…dua hal tersebut yang sering mengemuka sehari-hari… (kalau saya sih iya)
Saya jadi berkesimpulan.
Kalau kita sendiri..masih terlalu beralasan dan malas menyediakan waktu untuk anak-anak, terkait dengan dua hal seperti di atas…
Sebenarnya sayang (nggak) kita sama anak?

(Becermin lagi)

image



Terlalu lama (kita) asyik sendiri
03/07/2015, 4:12 am07
Filed under: catatan saya, ngalamin sendiri

Hmmm…akhirnya udh nyaris sebulan jadi anak kost. Karena harus ngungsi dari ‘heboh’nya renovasi rumah sih.Dulu semasih lajang sih seru2 aja. Ini bawa anak dua…bawaannya sampe 3 kloter.

Kost yang dipilih memang bukan kost apa adanya… Bukan karena ga bisa hidup apa adanya. Tapi ini bawa balita 2 tahun dan abegeh autistik ya..minimal ada ac..ada kulkas..ada tv..ada dapur kecil..ada heater lebih bagus lagi.
Akhirnya dapat..di area berkembang di Denpasar.
Kost 13 kamar…mirip apartemen tapi juga mirip city hotel. 5 kamar di lantai bawah 8 di lantai atas. Kebetulan kita dapat kamar atas. Paling pojok.
Nah.. apa hubungannya sama judul?

Yak…karena sampai nyaris sebulan ini..kami tak pernah tahu (tepatnya) siapa-siapa saja penghuninya plus nama-namanya
Semua sembunyi di kamar…atau kebanyakan di luar area kost. Berpapasan dengan satu..dua orang pun dihitung jari dan hanya senyum. Tak jelas apa pekerjaan mereka. Tak jelas siapa couple siapa jomblo. Tak jelas juga apa mereka saling berinteraksi.

Mungkin nyaris sebulan ini keriuhan hanya dari kamar kami. Rengekan si balita…ceracauan si abegeh autistik…suara lagu anak-anak…suara kami menyanyi…suara Masha and the bear atau video edukasi…teguran emak2 warning anaknya (tutup muka..he2)

Yang tampak dari “kehadiran” penghuni lain adalah derit kunci pintu pagi dan malam hari…motor atau mobil yang diparkir… sisa kepulan asap rokok..tumpukan sampah di sudut selasar (menunggu diambil mbok penjaga kost) atau sisa bau semprotan nyamuk dari kamar.
Plus…suara sapu halaman atau siraman air di kebun atau tanya jawab si mbok penjaga dengan penghuni..

Minim suara orang ngobrol…tak terdengar musik…tak ada jemuran baju…tak ada canda tawa.

Hmmm…
Semua (sudah) terlalu asyik dengan dunia mereka sendiri. Sudah bayar..ada kamar..ada fasilitas..buat apa berinteraksi?
Kalau tetangga tukang minjem gimana? Kalau tetangga DPO atau terkait jaringan terorisme gimana? Kalau tetangga ‘piaraan’ pejabat gimana?
Hahhhh…maaf..maaf… pertanyaan2 itu mah cuma rekaan saja aja. Jadi malu…
Sok tau saya..kenal aja nggak..udah berprasangka.

Yang jelas..fenomena di kost ini sungguh lucu (ini opini pribadi lho ya..)
Di saat masih banyak joke tentang autis di media sosial tentang asyik sama dunianya sendiri,
Abegeh autistikku justru terdengar heboh saat mandi di shower (suaranya kedengaran ke selasar kamar)..kadang-kadang dia heboh lari menuju kamar untuk buka pintu duluan dan membuat minuman hangat…atau heboh berantem sama adiknya rebutan gadget/remote.
Dia yang malah buat suasana kost ini hidup…
Ya minimal terlihat ‘berpenghuni’

Bagaimana dua bulan ke depan?
Mudah-mudahan (sempat) kenal penghuni lain.

image