yukberbagi!


seleksirbcl2022
12/04/2022, 4:12 am04
Filed under: Uncategorized

Jumlah kata : 1848 (hanya isi)

===

Menyelamatkan Phoenix

Tubuhku mendadak lemas. Suara-suara para saudara di sekitar panggung tempat kami berfoto seperti dengung lebah hendak menyerangku.

Kepalaku sakit, terasa keringat dingin susul menyusul merembes ke seluruh permukaan kulit. Ketika terasa aliran hangat berbau besi turun lewat sela-sela gaun, energi yang melingkupi tubuhku perlahan melayang pergi.

“Mayleen , kamu kenapa. Kok banyak darah begini … Bangun Leen, buka matamu … buka. Mama Sioe, Mama, tolong … Mayleen pingsan!”

Suara James masih lamat-lamat terdengar, sebelum keheningan menyergap.

*

Aku memilih diam ketika Papa terus saja berbicara mengapa aku tak boleh berpacaran dengan Ben.

“Shio kalian itu ciong. Seumur-umur bisa bawa sial. Udah gitu lo tau sendiri kan Ben itu anaknya Harris, saingan toko kita. Enak aja gua besanan. Nanti dipikirnya toko kita bisa kongsi, gua nggak sudi! Ben cuma kuliah seni lagi. Mau dikasi makan apa anak gua?”

Aku menatapnya dengan mata yang mulai terasa basah.

“Hei, elo nangisin dia? Elo mo bilang elo cinta sama dia? Makan tuh cinta! Elo kira cuma cinta doang, kita bisa idup kayak gini. Pokoknya elo kudu putus! Jangan au ban lo! Sekarang juga elo yg putusin si Ben duluan, biar lebih terhormat!”

Disorongkannya ponsel yang sudah disambungkan nomor Ben.
Ketika suara Ben terdengar di ujung sana, aku menghela napas berat.
Sejujurnya tak tega aku berkata-kata.
“Leen, what’s wrong, dear?”
Suara Ben terdengar bergetar.

Papa menepak bahuku. Membuatku tergagap dan melontarkan kalimat yang tadinya hendak kutelan saja.
“Kita putus ya Ben.”

Ponsel direbut disusul kata-kata Papa sambung menyambung bagai denging belasan nyamuk yang ingin cepat-cepat kutepuk. Kata-kata ciong, sial, nggak tahu diri, putus, berhamburan bersama makian dalam Bahasa Cina pasar yang tak mau kutahu artinya.

*

“Ci Sioe, ini ada Ben depan pager. Nungguin Mayleen dari tadi.”

Aku terkesiap. Tak sengaja mendengar percakapan ponsel Ayi Yuni dan Mamaku yang dipanggilnya Cici.

Ada Ben? Jauh-jauh dateng ke Manado sini seusai aku mematahkan hatinya bertahun lalu? Tahu darimana dia?

Sejak Papa mengganti sim card dan mengubah seluruh akun media sosialku, kami benar-benar hilang kontak.

Waktu awal putus, sempat sekali aku kabur untuk menemui Ben. Hasilnya aku diseret Papa sepanjang jalan Petekoan sebagai hukuman tak menemuinya lagi. Wajah Ben pun tampak lebam membiru terkena tamparan tangan Papa.

Kedua kali, Ben memanjat pagar menyelinap masuk kamarku. Kalau kemudian aku tidak menangis-nangis menelepon ambulan, nyawa Ben nyaris tak bisa diselamatkan.

Jerit tangisku bahkan tak bisa menghentikan pukulan dan tendangan Papa. Ketika Mama pasang badan menjadi tameng Ben barulah Papa menyudahinya.

Kebencianku kepada Papa makin berkobar. Sejak saat itu mulutku kukunci rapat-rapat. Apapun makanan yang dibelikannya, tak kusentuh. Kuliah tak kuhadiri, siapapun mengajak bicara tak aku ladeni. Aku menarik diri dari semuanya, masuk ke dalam cangkangku yang sunyi.

Dokter dipanggil, psikiater didatangi, tetapi diagnosa apapun tak kunjung bisa mereka berikan untukku. Dukun didatangkan, rumahku diasapi lalu aku didudukkan di tengah kamar untuk didoakan. Tidak ada perubahan juga.

Papa mulai melepaskan burung gereja ke udara dan kura-kura bulus ke dalam sungai. Katanya agar kesialan dan segala hal celaka lainnya menjauhiku, keluarga dan rumahku.

Apakah berhasil? Tidak. Tubuhku terus mengurus drastis, lingkar mata akibat insomnia sangat kentara. Beberapa kali kugunting rambut panjangku, di hari lain baju dan rokku. Sampai semua benda tajam maupun tumpul dijauhkan dari jangkauanku.

Setiap hari Mama menangis mencemaskan aku menjadi gila atau yang terparah mengakhiri hidup. Air mata Mama kurespons dengan tertawa. Cemas? Dia sendiri kuanggap nggak melakukan banyak hal juga untuk membantu.

Akhirnya suatu hari perempuan yang melahirkanku itu memohon Papa agar segera mengungsikanku ke Manado untuk menenangkan diri. Daripada harus dimasukkan ke rumah sakit jiwa, lebih baik aku tinggal di rumah adiknya, Yuni.

Kata menenangkan diri lalu menjadi bias ketika hari itu aku dibawa layaknya pesakitan. Lenganku dipegang kuat-kuat kiri kanan sepanjang naik mobil maupun pesawat. Mereka berbanyak tetapi demikian takut aku melarikan diri.

Ketika pesawat lepas landas melintasi cakrawala, aku meyakini betul diriku yang bernama Mayleen Puteri Widjaja sudah tiada.

*

“Oke, Ci. Bentar aku lihat Ben dulu.”
Suara Ayi membuyarkan kenangan menyedihkan itu. Sosoknya menghilang ke balik pintu.

Merasa punya kesempatan, aku mengendap-endap hendak mengintip lewat tirai jendela,

“Ben udah kuminta pergi, Leen. Mama lo bilang nggak boleh ketemuan. Bentar lagi elo merid. Harus tau diri sebagai perempuan. Jadi dong burung phoenix jangan burung pipit.”

Mendengar Ben diusir, hatiku bukan main sakitnya.

Ditambah lagi omongan tentang Phoenix ingin membuatku muntah saja.

Sejak kedatanganku ke Manado, Ayi Yuni selalu bicara tentang satwa itu.
Katanya, Papa menyuruhnya menceritakan kepadaku maknanya sebagai raja para burung. Makhluk mitologi satu-satunya yang menjadi motif resmi kerajaan yang digunakan hanya untuk ornamen ratu dan permaisuri.

Aku mendengkus, cih … perbuatan Papa kepadaku lebih serupa memperlakukan budak daripada ratu yang dimuliakan.

Ayi menambahkan lagi. Katanya, sebagai perempuan aku sudah terlahir cantik dan kuat seperti Phoenix. Tinggal dipoles saja untuk membuatku terhormat dan berkharisma.

Awalnya aku hanya tertawa mendengar semua itu. Namun, ketika esok … lusanya, lalu seminggu lagi arti Phoenix Ayi ulangi, aku mulai histeris dan tertawa tanpa henti.

Sambil meneriaki Ayi, aku mencaci mengapa semua orang mengharapkan aku menjadi Phoenix tetapi memperlakukanku semena-mena.

Ayi ketakutan melihat ekspresiku sedemikian rupa. Pelan-pelan ia mengubah strateginya.

“Mulai besok, gua ajarin elo masak dan jahit aja deh. Biar laki elo seneng luar dalem! Elo juga bakal gua bikinin ciak po biar subur. Papa dan mertua elo nanti pasti pengen banyak cucu dari kalian.”

Ucapan itu awalnya terdengar memuakkan, tak ubahnya aku barang atau mesin hanya untuk menyenangkan orang. Namun, daripada bosan hanya menjalani terapi saja, tentu aku memilih memasak di dapur atau belajar menjahit saja.

Perasaanku lebih baik karena Ayi tak bicara lagi soal Phoenix mapun hal lain yang bisa membuatku murka.

Bulan demi bulan terlewat. Aku makin jarang marah-marah dan tertawa tak beralasan. Ketika suatu hari Mama menelpon dan mulai mendorongku untuk melanjutkan kuliah jarak jauh dari universitas di Australia, aku menyetujuinya.

Meski alasan Papa yang hanya memperbolehkanku belajar daring untuk mencegah aku bertemu lelaki sembarangan lalu pacaran lagi, sesungguhnya momen itu malah mempertemukan takdirku dengan James. Anak sahabat baik Mama yang sengaja diperkenalkannya kepadaku.

Pesan Mama saat itu, “Aku nggak minta apa-apa darimu, Leen. Tapi bertemanlah dengannya. Dia anak yang baik, lucu dan menyenangkan. Mudah-mudahan dia bisa menghibur dan membantumu belajar.”

*

“Leen, bangun Leen. Aku nggak apa-apa kalau kamu nggak mau punya anak lagi. Aku nggak peduli anak kita perempuan semua. Leen, please don’t leave me … I love you.”

Kubuka mata yang terasa berat. Meski tubuhku masih terasa lemas, mataku sempat menangkap sosok lelaki yang telah menjadikanku Ibu dari dua kembar perempuan yang lucu-lucu.
Wajah James tampak sembab, isakannya terdengar satu dua.

Lelaki tampan bermata elang itu ternyata sungguh-sungguh mencintaiku lebih dari yang kuduga.
Dia lebih tua lima tahun dariku. Pengalaman kuliah di mancanegara dulu membuatnya bisa menjadi pembimbingku untuk kuliah jarak jauh.

Walau sepertinya Ayi Yuni dan Mama yang mengatur, aku merasa senang karena sikap dan perilaku James sungguh menghibur.

Dia benar-benar lucu, sering melontarkan lelucon dan sabar mendengarkan setiap aku bercerita.
Walau sebenarnya dia sudah tahu kondisiku kurang baik sehingga diungsikan jauh dari rumah, lelaki tinggi besar itu tetap mau mendengarkan semua tumpahan kekesalan berdasarkan versiku.

“James, kamu tahu … ketika aku dilahirkan, Papa nggak bisa terima bahwa anak pertamanya perempuan. Hilang sudah kebanggaannya di keluarga Akung. Makin besar aku satu-satunya anak perempuannya yang berani melawan dan berbantahan. Kebencian Papa berlipat ganda. Puncaknya waktu aku berpacaran dengan Ben, anak saingan bisnisnya. Papa begitu murka lalu mengambil tindakan.”

Kulihat James tak menunjukkan reaksi berlebihan meski kusebut nama lelaki lain di hadapannya. Matanya terus menatapku tanda memperhatikan.
“Kamu masih mencintainya, Leen?”

Sebulir air mata yang hendak mengalir turun segera diusap punggung telapaknya.
“Bila masih pun, sebagai anak perempuan aku tetap wajib menghormati Papa.”

Tangannya mengusap puncak kepalaku.
“Aku tahu, Leen. That’s hurt, right? Dipaksa menghilangkan rasa cinta kepada seseorang.”

Usapan tangannya waktu itu sungguh-sungguh mengalirkan kehangatan dan kenyamanan.

*

“Mayleen baru melahirkan nggak lebih dari sebulan. Kalian ‘kan percaya aturan kesehatan, kenapa musti dipaksa hadir di nikahan Wilson?”

Papa Johny seketika murka.
“Elo anak tertua, James. Cie fen-nya Wilson adek lo cuma sekali seumur idup. Datengnya pas foto keluarga aja, emang Mayleen segitu lemah apa badannya?”

Papaku tak kalah galak bicaranya.
“Mayleen pasti tau diri sebagai mantu pertama. Kalian berdua musti ada di foto keluarga. Bikin malu kalo James foto sendirian.”

Semua perdebatan itu tak juga berhenti bila aku tak menjerit-jerit meminta mereka pergi.
Meski hal itu tak kuasa juga menghentikan paksaan untuk menghadiri foto bersama.

Perias wajahku seketika mengeluh melihat wajahku yang begitu pucat. Entah berapa banyak kosmetik dipoleskan agar aku bisa tampil layak. Aku sendiri merasa terkejut kemudian, melihat wajahku di cermin seperti boneka tak bernyawa. Cantik tanpa aura.

Bagaimana tidak, mentalku yang perlahan pulih atas cinta dan perhatian James runtuh seketika bayi yang kulahirkan kembar perempuan.

Papa dan Papa Johny tak bisa menyembunyikan kekecewaan, terus menggerutu yang baru berhenti ketika James melontarkan bentakan.

Mamaku dan Mama Ling tak bicara apa-apa, bergantian mereka mengirimkan makanan dan ciakpo agar tubuhku segera pulih.

Aku menertawakan usaha itu. Percuma, karena tubuhku mulai bertindak secara mekanik tanpa disertai rasa.

Ketika pengurus bayi atau Mama Ling menyodorkan bayi-bayi untuk kususui, aku mau melakukannya. Namun, ketika mereka menangis aku bisa diam saja tak bereaksi apa-apa.

James seorang diri yang pontang panting mengurusiku. Dengan sabar ia menyuapiku, memandikan dan menggantikan pakaian.

Bahkan terkadang dia membawa kedua bayi kami ke dekat tempat tidurku untuk menunjukkan bagaimana besar cintanya kepada mereka tak peduli apa jenis kelaminnya. Menyaksikan apa yang dilakukan James membuat air mataku mulai mengalir.

*

“James …”
Suaraku yang serak dan bergetar terdengar menakutkan bahkan di telingaku sendiri.

Tubuhnya bergerak. Kepalanya terangkat pelan lalu mata elangnya berbinar menatapku.
“Leen, oh God, please don’t make me scare again. Aku takut sekali kamu pergi!”

Tangisnya pecah, air mata kami saling berbaur ketika wajah kami saling mendekat. Bibirnya menciumi setiap permukaan wajahku.

Kriettt.
“Pak James … Eh maaf menganggu. Bu Mayleen, ah syukurlah Ibu sudah siuman. Pak James gelisah sekali menunggui Ibu selama hilang kesadaran.”

Suara lelaki yang selama ini menjadi tangan kanan dan pengacara James yang mendadak masuk ruangan, refleks menggerakkan kepala kami untuk berjauhan.

“Ya … Roby. Gimana surat-suratnya?”
James menjawab sambil menggenggam sebelah tanganku erat-erat.

“Beres, Pak. Meski tadi Pak Johny terus mencaci maki, mau tak mau ia menandatanganinya. Tanda tangan Wilson dan Gilbert sudah saya dapatkan juga.”

Aku menatap mereka berdua. Kueratkan genggaman di tangan James, merasa panik tertinggal berita apa.
James membalas genggaman tanganku. Kehangatan hatinya segera tersalur, menjalar ke seluruh tubuh.

Sambil menghela napas tanda kelegaan, lelaki yang menyayangiku itu berkata dengan lugasnya.

“Leen, kini hidup kita hanya aku, kamu dan anak-anak. Aku sudah bukan bagian dari perusahaan Papa, jadi dia tak dapat mengancamku bila tak menuruti apa keinginannya.

Aku memutuskan pecah kongsi, mengurus usahaku sendiri tanpa campur tangan keluarga. Aku juga sudah memberikan ultimatum agar kedua Papa tak ikut campur.

Orang-orang seperti Papa kita itu perlu diberi boundaries agar tak semaunya mengutak-atik hidup kita. Kalau masih ngelakuin juga, saat itu kita sudah pindah ke Kanada, Leen.”

Perkataan James betul-betul mencengangkanku.
Tak kusangka ia mengambil langkah yang sangat berani untuk keluarga kami.

“Trust me, Leen. Kita mulai buat bahagia kita sendiri. Kamu jangan sedih lagi ya.”

Tak mampu kutahan air mata yang mengalir menganak sungai membasahi wajah.

Keberanian dan cinta James membuat kehadiranku sebagai seorang perempuan terasa demikian berharga.

=====
shio = zodiak dalam kepercayaan orang Cina, berjumlah 12 dengan simbol hewan

ciong = tidak cocok, bertentangan, ditenggarai bisa menyebabkan kesialan

ciak po = ramuan obat yang bisa dikonsumsi langsung atau dicampur makanan, dengan tujuan meningkatkan qi atau energi vital tubuh

kongsi = kerjasama, biasa dalam bisnis

au ban = keras kepala

Ayi = tante

Akung = kakek

cie fen = pernikahan

Jalan Petekoan = salah satu jalan daerah Pecinan yang menjadi area perdagangan di Jakarta Kota



Parenting selama 2021 di seide.id

https://seide.id/efek-lain-pandemi-adiksi/

https://seide.id/komik-asterix-humor-stereotip-tanpa-sensitif/

https://seide.id/parenting-101-sekadar-bisa-membaca-atau-membaca-untuk-bisa/

https://seide.id/parenting-101-orangatua/

https://seide.id/selebrasi-ibu-setiap-hari/



Parenting 101:Anak Bersikap Rasis, Salahnya Di mana?

“Dy..kamu Cina ya?”
Bungsuku terdiam, tak tahu menjawab apa. “Iya soalnya kamu putih. Kata Mas Nganan kalo kulitnya putih itu orang Cina. Kalo kita kan hitem-hitem.”
Bungsuku hanya melongo, menatap kawan-kawannya.
Entah dia mengerti atau tidak, tapi jelas tak merasa terganggu. Saya bersyukur saat itu. Atas ketidakpahaman si bungsu dan temperamen saya yang tidak serta merta bereaksi.

Seringkah kita menemui obrolan anak-anak dengan muatan semacam itu sehari-hari? Mengandung stereotip dalam memandang orang lain. Bila menjawab sering, lalu apakah stereotip itu?

Menurut kbbi, ste·re·o·tip /stéréotip/ 2 n merupakan konsepsi mengenai sifat suatu golongan berdasarkan prasangka yang subjektif dan tidak tepat. Jadi secara sederhana, stereotip lebih mengarah pada prasangka dan patut diragukan kebenarannya.

Lalu apakah kasus di bawah ini termasuk di antaranya? Seorang ibu bercerita, sebuah insiden di sebuah tempat ibadah. Ada beberapa anak yang berteriak mengejek saat melihat anak dari salah satu pulau di timur Indonesia. “ih ireng banget koyo tai… njijiki… hih tai kok neng grejo.”
(ih hitam banget kayak kotoran/tai, menjijikkan, hih tai kok ada di gereja)
Ibu ini begitu geramnya, namun tak berkuasa apa.

Berprasangka kepada yang berbeda dengan kita, biasa diawali dengan melakukan body shaming, seperti, ujaran “Moko kulitnya item banget, kalo mati lampu ga bakal kelihatan.” Atau “Sucen matanya sipit, kalo ketawa cuma satu garis aja.”; mungkin biasa terjadi sehari-hari. Pertama mungkin dari ciri fisik seseorang, lama kelamaan berkembang menjadi prasangka subjektif tentang karakter khas sebuah suku, ras atau bangsa tertentu.

Awalnya hanya bercanda, selanjutnya sengaja menyindir, dan kalau dilakukan berkali-kali, sama saja dengan mengolok-olok yang cenderung menghina. Contoh ucapan yang ditujukan pada seorang yang sejak kecil pintar berwirausaha. “Ahhh, pasti dia Cina atau Padang. Apa-apa dijadiin duit. Apa-apa didagangin.” Atau ucapan. “Males deh temenan sama dia. Lambat banget ngapa-apainnya. Psst… orang Jawa sih.” Atau, “Jangan temenan ah sama dia. Kan orang Timor, bawaannya marah mulu.”

Hal apa yang sebenarnya mendorong seorang anak melakukan tindakan stereotip? Dan apakah benar sikap orang tua atau bahkan pola orang tua asuh ternyata menyuburkan tindakan tersebut?

Asmiati Malik dari Universitas Bakrie dan Andi Muthia Sari Handayani dari Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Palu mengungkapkan stereotip terbentuk dalam proses pembentukan karakter dari individu sejak kecil dan kemudian melekat secara alamiah di bawah otak tidak sadarnya.

Pendapat yang lebih detail diungkapkan Erin N. Winkler, professor dan Kepala Departemen Afrology di Universitas of Wisconsin-Milwaukee. Beliau mempelajari bagaimana anak-anak membentuk gagasan mereka tentang ras selama tahap awal perkembangan.

Ketika anak-anak mulai mencari tahu dan belajar membedakan bentuk dan warna, mereka juga mulai mengamati perbedaan yang terlihat di antara orang-orang dan membedakan identitas mereka sendiri, termasuk konsep rasial.

Winkler juga mengulas bagaimana bayi berusia 3 sampai 6 bulan dapat secara non-verbal mengkategorikan orang menurut karakteristik ras, lalu anak-anak berusia 2 tahun dan seterusnya dapat menggunakan kategori ini untuk “bernalar” tentang perilaku orang.

Secara perkembangan, normal bagi anak prasekolah untuk memperhatikan dan bertanya tentang perbedaan warna kulit dan ciri-ciri lainnya, terutama karena anak usia 3 sampai 5 tahun sering belajar mengkategorikan segala macam hal. Besar kecil, tinggi pendek, hitam putih, cantik jelek, dan seterusnya.

Anak-anak bahkan dihadapkan pada stereotip rasial secara terbuka, melalui buku, majalah, televisi dan pengalaman mereka di lingkungan. Bagi anak-anak di usia ini, apa yang terjadi dan ada di sekitarnya mengundang rasa ingin tahu.

Jadi ketika mereka memperhatikan sebuah sikap atau perilaku sebagai pola, lalu mereka tidak mendapatkan penjelasan mengapa pola-pola ini ada, mereka menyimpulkan bahwa memang begitulah seharusnya bersikap.

Inilah sebabnya sikap orang dewasa yang tak mau terbuka mendiskusikan tentang ras bisa dianggap mendorong anak untuk memiliki prasangka kepada temannya atau orang lain.

Lalu, apakah mudah mendiskusikan hal ini dengan anak-anak dan sebaiknya di usia berapa kita membicarakan hal ini. Beberapa orang tua khawatir tentang mengenalkan masalah seperti diskriminasi pada usia dini. Yang lain enggan membicarakan sesuatu yang mungkin tidak sepenuhnya mereka pahami atau tidak nyaman untuk dibahas. Namun bagi mereka di keluarga yang pernah mengalami perlakuan pembedaan berdasarkan stereotip, tentu tidak memiliki pilihan seperti itu.

Pembicaraan tentang stereotip, rasisme dan diskriminasi mungkin terlihat berbeda untuk setiap keluarga. Meskipun tidak ada pendekatan satu ukuran untuk semua, panduannya sebenarnya sama. Semakin dini orang tua memulai percakapan dengan anak-anak mereka, semakin baik.

Menurut Unicef, usia anak yang cukup baik untuk diajak berdiskusi tentang hal ini, ternyata usia balita. Pada usia ini, anak-anak mungkin mulai memperhatikan dan menunjukkan perbedaan pada orang yang mereka lihat di sekitar mereka. Seperti pada contoh yang dialami Dydy saat TK di awal cerita.

Lalu apa saja langkah-langkah kita sebagai orang tua mengajarkan hal ini? Apalagi sudah dipastikan bahwa orang tua lah yang meletakkan dasar dari bagaimana anak-anak bersikap kepada orang yang ‘berbeda’.

Unicef sempat menyusun panduan seperti selalu mengajak anak mengenali dan mensyukuri perbedaan dengan sering mengajak anak play date dengan teman dari berbagai keluarga, selalu terbuka terhadap pertanyaan dan keraguan anak-anak saat menghadapi orang yang berbeda, selalu berusaha memfasilitasi dengan bersama-sama membaca buku anak-anak maupun menonton bersama serial Upin Ipin atau sejumlah film Disney seperti Mulan, Brave, Frozen, Wreck it Ralph, Monster’s Inc., dan Shrek yang banyak memberi contoh tentang stereotip dan keberagaman.

Dan termasuk mengajak anak ke pekan budaya atau festival seni untuk mengenalkan betapa berwarnanya lingkungan sekitar kita.

Namun, kuncinya kembali lagi ke orang tua, yang sejatinya adalah ‘pintu’ anak mengenal apa-apa di dunia. Ingatlah untuk mempraktikkan selalu apa yang kita katakan.
Kita mungkin mengajari anak-anak tentang tak boleh membeda-bedakan teman termasuk bersikap toleran. Namun jika mereka mendengar kita berbicara negatif tentang orang yang berbeda, jangan kaget jika mereka akan meniru kita.

Anak-anak akan sering mempraktikkan apa yang mereka lihat dan dengar sebagai kebalikan dari apa yang diajarkan. Inilah sebabnya mengapa anak-anak lebih cenderung memperlakukan orang lain dengan hormat ketika mereka melihat kita mempraktikkan toleransi dan menerima orang lain apa adanya.

Ini PR besar saya juga untuk Dydy untuk tidak bersikap stereotip dan diskriminatif, termasuk mulai mengajarkannya untuk bersikap asertif saat ada teman yang membeda-bedakan dirinya.

Tak mudah, perlu proses, perlu keteladanan dari kami orang tuanya; tapi bukan berarti tak bisa kan?


Referensi : https://www.google.com/amp/s/theconversation.com/amp/explainer-ilmu-psikologi-menjelaskan-bagaimana-rasisme-terbentuk-dan-bertahan-di-masyarakat-140071
https://www.wiscontext.org/how-kids-learn-about-race-stereotypes-and-prejudice
https://www.unicef.org/parenting/talking-to-your-kids-about-racism
http://www.aldenhabacon.com/13-tips-how-to-talk-to-children-about-diversity



Age is only number : ketika nekad apply beasiswa
20/11/2020, 4:12 am11
Filed under: Uncategorized



Suatu waktu mengulas film
20/11/2020, 4:12 am11
Filed under: Uncategorized