yukberbagi!


Ini (bukan) kelas parenting
06/04/2017, 4:12 pm04
Filed under: Uncategorized

Sebagai orang tua dari dua putra yang berbeda kondisi, sulung saya autistik dan bungsu saya bisa dikatakan sinkron sekali dengan tumbuh kembangnya; mau tak mau saya terus belajar.

Salah satu yang menarik saya cermati adalah perbedaan kemampuan berimajinasi pada mereka.

Sulung saya Arsa, yang autistik bisa dikatakan memiliki imajinasi yang terbatas. Atau mungkin bila berimajinasi pun, malah membuatnya cemas berlebihan. Yang ia katakan ya demikian adanya. Bila diberitahu adanya acara tertentu atau kedatangan tamu tertentu, kita harus bilang sebelumnya dengan kata-kata sederhana yang membuatnya nyaman dan tak menjadi cemas.

Apalagi kelebihannya sebagai individu visual adalah memori fotografis. Jadi yang terekam adalah apa yang benar-benar dilihatnya bukan apa yang ada dalam imajinasinya.

Meski kemudian saya menganalisa lagi, mengapa saat Arsa berproses kreatif, dalam hal ini sedang me’lukis’ gambar sesuatu dengan menjahit sulam, ia kadang tampak seperti berimajinasi. Warna-warna yang nyeleneh dari seharusnya, garis lurus yang kemudian berlekuk. Hmm..saya perlu mengamatinya lebih dalam.

Berbeda dengan adiknya Adyatma yang sedang masa-masa emas berimajinasi, kalau menurut teori Piaget. Ia suka sekali mendengar cerita, sesuka ia menceritakan kembali apa yang dilihat dan didengarnya sembari bertanya apa, siapa dan kenapa? Spontanitasnya selalu mengajak saya berpikir ketika ditanya sesuatu yang kadang luput saya perhatikan. Apa itu food chain setelah menonton Happy Feet two? Siapa nama kambing di film Robinson Crusoe? Atau apa sih warna nila di pelangi? Apa itu haloween? Atau ucapan spontan sambil buka korden, ini malam, di luar sudah gelap.

Di usia 4 tahun ini, setiap malam ia minta belajar. Dan tak semuanya dari buku cetakan. Malah ia minta dibacakan gambar- gambar..warna..angka dari apa yang sudah digambar dan diwarnainya, dan itu dalam dua bahasa. Bila ia belum paham, teruslah ia bertanya. Tak berhenti. Kadang-kadang saya sampai harus me’motong’ keasyikannya ini karena melihat ucapannya sudah ngawur dan hampir jatuh tertidur.

Arsa di usia Dy saat ini, bukan tidak mendengarkan saat saya bercerita. Namun ia hanya mendengarkan untuk kemudian menelannya setepat mungkin tanpa bumbu imajinasi. Dulu, saya menggunakan ini sebagai sugesti kepadanya untuk membangun pemahamannya akan sesuatu. Saya akan bicara berulang-ulang agar terekam dan ia paham.

Arsa kecil bermain dengan caranya sendiri. Memegang mobil-mobilan bukan untuk berandai andai tentang mobil yang berjalan. Tapi semua mobil-mobilan itu dideret bak parkir. Demikian halnya dengan binatang. Semua dibuat baris berderet-deret. Imajinasi Arsa dengan keautistikannya ya seperti demikian.

Arsa kecil suka mendengar saya menyanyi. Jadi dulu sepanjang ia berangkat sekolah, saya akan bernyanyi sepanjang perjalanan. Semua lagu anak-anak yang ternyata kemudian direkamnya (hafal) untuk kemudian bisa dinyanyikannya sekarang.

Dy lebih suka saya bercerita.. lebih suka kalau saya membacakan sesuatu karena dengan demikian ia bisa bertanya dan bertanya lagi. Dy tak terlalu suka mendengar saya menyanyi. Karena ia tak bisa bertanya di tengah-tengahnya. Tapi dari cerita, melihat gambar, mendengar saya membaca ; Dy akhirnya mengenal huruf, menulis dan nanti mungkin bisa membaca.

Arsa belajar membaca juga dengan caranya sendiri. Sebagai visual learner, ia memahami simbol-simbol, gambar-gambar, huruf, kata per kata. Ia lebih suka dibawakan brosur dengan gambar-gambar dibanding dibelikan buku khusus untuk membaca.

Mengamati dan melalui perkembangan keduanya setiap hari membuat saya sungguh belajar sebagai orang tua. Bahwa teori pengasuhan di kelas parenting manapun perlu sangat lentur. Setiap anak adalah individu yang unik, dengan kondisi, kebutuhan dan yang pasti keinginan mereka berbeda-beda. Berharap output dari asuh didik kita akan murni 100% seperti apa yang kita inginkan apalagi cuma berdasar teori ; sungguh sebuah tindakan yang tak elok.

Hanya diri kita yang sungguh-sungguh tahu apa yang dibutuhkan dan diinginkan anak-anak. Ya..betul..selama kita, mau terus belajar sebagai orang tua; seumur hidup.